Suryamin dan Kakaknya
Cerpen Humam S. Chudori ___________________________________________________________________
Sudah tujuh bulan, sejak tinggal di kompleks perumahan RSS yang dibelinya secara cicilan melalui bank pemerintah, Suryamin tak menemukan guru ngaji di daerah itu. Ia tak mungkin membiarkan anaknya tidak bisa mengaji. Ia menyadari pentingnya mengajarkan membaca Alquran bagi anak-anak. Mengajar membaca kitab suci merupakan kewajiban orangtua terhadap anak. Ia yakin sekali jika anak tidak mendapatkan pendidikan agama, maka orangtua akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Sebetulnya ia sendiri lebih senang apabila anaknya diajar ngaji oleh orang lain. Namun, setelah mencari informasi ke sana kemari, apa yang dicarinya itu tak diperoleh. Akhirnya ia memutuskan untuk mengajar ngaji anak-anaknya sendiri. Ya, setiap bada Magrib Suryamin mengajar ngaji kedua orang anaknya.
Kegiatan Suryamin di rumahnya yang baru itu, rupa-rupanya menarik perhatian tetangga sebelah, Yanto. Lelaki itu tanpa sedikit pun merasa sungkan minta Suryamin, agar bersedia mengajari anaknya mengaji meskipun ia tahu bahwa tetangganya pekerjaan pokoknya bukanlah mengajar ngaji.
Ada dua hal yang membuat Yanto berani berbuat demikian. Pertama, kendati merupakan tetangga baru Suryamin di tempat itu. Tetapi, Yanto bukan orang asing bagi Suryamin. Mereka bekerja di tempat yang sama. Bahkan di bagian yang sama, yakni bagian administrasi keuangan. Kedua, Yanto yakin sekali kalau temannya itu tahu benar bahwa dirinya tidak bisa mengaji. Karenanya Yanto merasa tidak keliru bila minta tolong kepada Suryamin.
“Memangnya saya bisa apa, Mas?” Ujar Suryamin, tatkala Yanto menyampaikan maksudnya.
Yanto tertawa. Lalu katanya, “Apa saya salah kalau minta tolong Mas Yamin untuk mengajar ngaji anak saya. Mas Yamin tahu sendiri kalau saya buta huruf Arab.”
“Tapi…”
“Ingat lho Mas,” potong Yanto, “Orang tidak boleh pelit. Apalagi dalam hal ilmu agama.”
* * *
Sejak itu, Suryamin tidak saja mengajar ngaji anaknya sendiri melainkan pula mengajar ngaji anak Yanto. Seminggu tiga kali setiap ba’da Magrib anak Yanto datang ke rumah Suryamin.
Kesibukan Suryamin ba’da Magrib ini rupa-rupanya diperhatikan tetangga lain. Lalu mereka ikut memercayakan anaknya kepada Suryamin. Dan, entah kenapa Suryamin pun tidak bisa menolak ketika satu per satu tetangga mendatanginya. Barangkali karena mereka mengaku buta huruf Arab sehingga tidak mungkin mereka mengajar anaknya mengaji. Sedangkan di kompleks perumahan itu, belum ada orang yang pekerjaannya khusus mengajar ngaji anak-anak. Bisa dimaklumi lantaran pekerjaan ini tidak bisa dijadikan penopang hidup, apalagi mendatangkan uang.
Namun, bagi Suryamin kesibukan ini ternyata memberikan kebahagiaan sendiri. Tak bisa dinilai dengan materi. Sehingga ia melaksanakan pekerjaan ini dengan senang hati. Tak heran jika dalam waktu kurang dari lima bulan, anak-anak yang belajar ngaji di rumah Suryamin tidak kurang dari dua puluh lima orang.
Setelah menjadi guru ngaji, Suryamin mulai diminta tolong para tetangga untuk memimpin upacara ritual keagamaan memimpin tahlilan, selamatan pindah rumah, pembacaan doa acara cukur rambut bayi saat akikah atau pun ada anak yang hendak dikhitankan di kompleks perumahan itu.
Suryamin, sebenarnya, tidak ingin memimpin acara ritual semacam ini. Ia merasa belum layak. Tetapi, para tetangga yang datang minta tolong untuk urusan seperti ini tidak dapat menerima alasannya.
“Memangnya saya bisa memimpin doa seperti itu, Pak,” demikian kata Suryamin, setiap kali ada yang minta dirinya untuk memimpin upacara ritual keagamaan.
Namun, jawaban seperti ini tidak mengurungkan niat orang yang datang minta tolong kepadanya.
“Ya, doa apa sajalah yang Pak Yamin baca terserah. Pokoknya saya minta tolong Bapak,” ujar Joko, tatkala hendak mengkhitankan anaknya.
Lain lagi dengan Agus, usai merenovasi rumahnya. Setelah Suryamin mengatakan apakah ia pantas dimintai tolong memimpin pembacaan doa. Agus malah balik bertanya, “Apakah menolak permintaan tolong orang lain dapat dibenarkan, Pak?”
Sementara itu, orang lain lagi akan berkata, “kalau dapat memimpin pembacaan doa, pasti saya lakukan sendiri. Lha, membaca doa sendiri saja tidak bisa. Apalagi memimpinnya.”
“Selama tinggal di sini saya tidak melihat ada orang lain yang biasa memimpin tahlilan selain Pak Yamin,” kilah lain tetangga.
Dengan kalimat-kalimat seperti ini atau yang semacamnya, Suryamin merasa tidak mampu mengelak bila ada tetangga yang minta tolong untuk urusan-urusan semacam itu.
* * *
“BAPAK disuruh ke rumah Pak Sahdan,” ujar Zakiah kepada suaminya yang baru keluar dari kamar, usai melaksanakan shalat Magrib.
“Ada apa?” tanya Suryamin.
“Entahlah,” jawab Zakiah. “Waktu Bapak sedang salat tadi, Ade ke sini. Ia cuma bilang Bapak disuruh ke rumahnya.”
“Tapi …..”
“Sudahlah. Datang saja ke sana Pak! Namanya orang minta tolong. Kalau kita bisa, kenapa tidak menolongnya?” Potong Zakiah. “Lagi pula malam ini Bapak tidak ngajar ngaji.”
* * *
TIARA, kakak Ade, duduk di ruang tamu sambil memangku Firman anaknya yang baru berusia sepuluh bulan tatkala Suryamin datang. Istri Sahdan itu memang sedang menunggu lelaki yang baru tiba.
“Ini Pak. Sudah seminggu lebih Firman kok nangis melulu,” ujar Tiara setelah tamunya duduk.
Suryamin diam. Ia belum mengerti maksud perempuan itu. Betapa tidak, sejak tiba di tempat itu ia tidak mendengar tangis bayi. Bahkan Firman tampak tenang dalam pangkuan ibunya.
“Semula saya pikir Firman sakit. Tetapi, setelah saya bawa ke dokter, ternyata ia tidak sakit,” lanjut Tiara.
“Barangkali keseleo atau kecapekan,” kata Suryamin.
“Tidak juga,”jawab Tiara. “Soalnya sudah diurut toh ia tetap saja selalu menangis. Anehnya, ia hanya menangis saat menjelang Magrib dan baru berhenti kalau azan Isya sudah terdengar.”
Suryamin diam.
“Yang tak habis pikir, entah kenapa tangis Firman mendadak berhenti setelah tantenya pulang dari rumah Bapak tadi,” tambah Tiara. “Padahal biasanya saat-saat begini tangis Firman belum berhenti.”
Suryamin masih diam.
“Apa ada sesuatu yang mengganggu anak ini, Pak?”
“Tidak ada apa-apa, Bu.” Jawab Suryamin.
“Tapi, Pak.”
“Ya,” potong Suryamin, “Mungkin saja tadi ada sesuatu yang Ibu maksud. Tetapi, sekarang sudah tak apa-apa.”
Tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba Tiara menyodorkan anaknya kepada Suryamin.
“Tolonglah Pak! Anak ini dibacakan sesuatu agar tidak terganggu lagi. Tidak rewel lagi,” kata Tiara, sesaat setelah bayi itu di pangkuan Suryamin.
Sejenak Suryamin tercenung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong ibu yang sedang kebingungan itu. Namun, sejurus kemudian ia ingat sesuatu. Lalu mulutnya komat-kamit sebentar. Setelah itu ia mengembalikan bayi itu kepada Tiara.
“Insya-Allah, Firman tidak akan rewel lagi.”
EMPAT hari kemudian, Sahdan mengunjungi Suryamin. Suami Tiara itu mengabarkan kalau Firman sudah tidak pernah rewel lagi setelah Suryamin datang ke rumahnya. Sahdan memang tak pernah tahu apa yang telah dilakukan Suryamin terhadap anaknya yang pertama itu. Lantaran ketika Suryamin datang ke rumahnya, ia belum pulang dari kantor.
Suryamin seperti tidak percaya dengan penjelasan tetangganya yang tinggal di lain RT itu. Betapa tidak, ia tidak merasa berbuat sesuatu seperti yang disangkakan Tiara mengusir roh jahat yang menyebabkan Firman menangis setiap menjelang Magrib. Yang dilakukan Suryamin hanya sebatas meyakinkan Tiara bahwa Firman tidak diganggu apa-apa. Tidak diganggu roh jahat. Dan, kalau saat itu ia sempat membaca beberapa ayat suci, tak lebih dari sekedar untuk menambah keyakinan istri Sahdan.
* * *
Sejak dianggap berhasil menolong Tiara, Suryamin sering didatangi tetangga lain yang anaknya rewel tetapi tanpa sebab yang jelas.
Anehnya, sebelum Suryamin berbuat sesuatu anak yang dilaporkan rewel itu mendadak berhenti tangisnya. Dan, setelah Suryamin datang anak tersebut tak rewel lagi. Sebagaimana yang terjadi dengan Firman. Kalau pun anak masih suka menangis, tetapi tangis yang dianggap wajar.
Yang tak habis pikir bagi Suryamin. Pernah ia diminta tolong menyembuhkan orang kesurupan. Betapa tidak, Suryamin belum tiba di rumah Rusno. Supoyo, anak yang dikabarkan kemasukan, sudah baik. Ya, anak Rusno itu sudah tidak mengamuk lagi.
Andaikata Suryamin tahu kalau ia disuruh mengobati orang kesurupan apalagi sedang mengamuk tentunya tak akan pernah mau. Lantaran ia merasa tak bisa melakukannya. Hanya saja, ketika Andi datang. Ia hanya bilang Suryamin diminta tolong datang ke rumah Rusno.
* * *
Selamet sedang di rumah Suryamin, ketika Teguh mengabarkan bahwa mBah Wahyu sudah hampir lima jam lamanya sekarat tetapi belum juga meninggal. Tetangga sebelah rumah Teguh itu napasnya sudah di leher dan berulangkali seperti tercekik.
“Maksudnya?” Tanya Suryamin.
“Ya, dibacakan apa saja terserah Bapak. Biar mBah Wahyu cepat meninggal.”
“Keluarganya sudah tidak tega melihat mBah Wahyu seperti itu,” jawab Teguh.
Baru saja Suryamin masuk pekarangan rumah mBah Wahyu. Lelaki berusia 77 tahun itu sudah menghembuskan napas terakhirnya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
“Ada apa, Min?” Tanya Selamet setelah adiknya pulang dari rumah almarhum.
“Keluarganya tidak tega melihat mBah Wahyu tersiksa. Sekaratnya sudah lama, tapi belum mati-mati juga,” jawab Suryamin, mengulang kalimat yang dilontarkan Teguh beberapa saat sebelumnya.
“Alhamdulillah. Sekarang mBah Wahyu sudah meninggal,” lanjut Suryamin.
“Apa yang telah kamu lakukan, Min?” Tanya Selamet.
“Saya tidak berbuat apa-apa. Bahkan tidak membaca apa-apa,” kata Suryamin. “Yang jelas, sudah waktunya mBah Wahyu meninggal. Artinya saya datang atau tidak, ajalnya baru tiba beberapa saat lalu.”
Selanjutnya Suryamin menceritakan dirinya sering dimintai tolong tetangganya untuk urusan yang berhubungan dengan masalah yang dianggap gaib. Padahal ia merasa tak mampu melakukannya. Anehnya, para tetangga Suryamin tidak pernah mau menerima penjelasan guru ngaji itu. Namun, entah kenapa semuanya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan orang yang minta tolong kepada Suryamin.
Selamet, kakak Suryamin yang tinggal di Bekasi itu, diam.
“Saya sendiri heran, Mas. Soalnya bukan saja tidak pernah belajar ilmu gaib. Saya juga tak pernah tahu masalah ini. Habis bagaimana orang yang datang ke sini juga tak mau percaya keterangan saya. Mereka tetap minta saya mengatasi masalah yang mereka hadapi. Namanya dimintai tolong, masa tidak kita bantu? Dan yang saya lakukan selama ini tidak ada. Kecuali sebatas memenuhi keinginan mereka. Datang ke rumah orang yang memanggil saya,” lanjut Suryamin “Bisa apa saya Mas? Lha wong keyakinan saya tetap mengatakan la haula wala quwwata illa billah.”
Selamet masih tetap tak percaya dengan penjelasan adiknya. Sebab ia pernah belajar ilmu yang berhubungan dengan masalah gaib. Namun, ia tidak pernah bisa menolong orang lain. Bahkan sebulan lalu, tatkala pembantunya kesurupan Selamet justru minta tolong orang lain untuk mengatasinya.****
HUMAM S. CHUDORI, lahir di Pekalongan, 12 Desember 1958.
Cerpen dan puisinya terhimpun dalam sejumlah buku antologi bersama.
Buku kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan antara lain: Dua Dunia, Barangkali Tuhan Sedang Mengadili Kita, Perkawinan, Percakapan Malam Hari. Novelnya yang telah terbit: Sepiring Nasi Garam, Bukan Hak Manusia, Ghuffron, Shobrun Jamil, Rezeki, Hijrah, Berlibur di Desa.
Di samping menulis, kini ia menjadi pengasuh surauhumamschudori, di kanal youtube nibukantv.